DUNIA LAEN

AIR YANG MEMBAWA NAMA

AIR YANG MEMBAWA NAMA
Hujan turun sejak sore dan tak pernah benar-benar berhenti. Langit gelap seperti kehilangan batas. Di sebuah kampung dataran rendah Sumatera, sungai yang biasanya jinak naik perlahan—diam, tapi terasa hidup.

Warga sudah terbiasa dengan banjir. Mereka mengangkat perabot, mengikat ternak, dan menunggu air surut seperti biasa. Namun malam itu berbeda. Udara lebih berat. Bau anyir bercampur lumpur lama menyelinap ke dalam rumah-rumah.

Sekitar pukul dua dini hari, Arman terbangun oleh suara cipratan air di teras rumah kayunya. Saat ia membuka pintu, air sudah setinggi lutut. Yang membuatnya merinding bukan ketinggian airnya, melainkan baunya—seperti sesuatu yang lama terkubur baru saja dilepaskan.

Lampu mati. Dunia seakan terpotong dari waktu. Hanya cahaya senter ponsel yang bergetar di tangannya.

Dari arah sungai terdengar suara pelan, serak, terendam air.

“Man… Man… tolong aku…”

Arman membeku. Ia mengenali suara itu. Mak Lina, tetangganya, yang rumahnya paling dekat sungai dan seharusnya sudah dievakuasi sejak sore.

Suara itu terdengar lagi, lebih dekat.

“Airnya dingin, Man…”

Senter diarahkan ke depan rumah. Di antara arus air cokelat yang mengalir deras, sesuatu hanyut perlahan. Bukan kayu. Bukan karung.

Sebuah tubuh.

Mayat perempuan dengan wajah tenang, mata terbuka, dan bibir bergerak seolah masih hidup. Wajah Mak Lina.

Tubuh itu tidak mengikuti arus. Ia bergerak mendekat, perlahan, melawan aliran air. Di sekelilingnya, permukaan sungai beriak seperti berbisik.

“Kau ingat yang dulu, Man…”
“Yang kau diamkan…”

Petir menyambar. Dalam sekejap, air di depan rumah berubah seperti lorong gelap tanpa dasar. Dari dalamnya muncul puluhan wajah—anak kecil, orang tua, wajah-wajah pucat yang terasa asing sekaligus sangat dikenali.

Mereka adalah nama-nama yang hilang saat banjir besar puluhan tahun lalu. Nama-nama yang tak pernah ditemukan jasadnya.

Air naik cepat, mencapai dada. Arman berenang menuju atap, namun kakinya tertahan. Tangan-tangan dingin tak terlihat menariknya perlahan ke bawah—tanpa suara, tanpa amarah.

Bisikan-bisikan itu menyatu.

“Sekarang giliranmu ikut hanyut.”

Pagi hari. Kabut tipis menyelimuti kampung. Air banjir surut, meninggalkan lumpur dan kesunyian. Warga berkumpul. Rumah Arman kosong. Tidak ada tanda ia selamat, tidak pula tanda evakuasi.

Di dinding rumahnya, setinggi batas air tertinggi, tertulis dengan lumpur basah:

“KAMI AKHIRNYA PULANG.”

Sejak saat itu, setiap banjir besar datang ke kampung tersebut, warga selalu mendengar hal yang sama di tengah derasnya air—seseorang memanggil nama mereka masing-masing, dengan suara orang yang paling mereka cintai.